| |
Rubrik "kolom" ini disediakan
khusus bagi anda yang ingin menyumbangkan buah pikiran/opininya dalam bentuk
tulisan/artikel. Kirimkan ke
Webmaster dengan mencantumkan nama dan
e-mail yang jelas. |
Skenario
Menuju
Propinsi
Minahasa
Penulis: Andri Umboh
Ketika ide pembentukan
Propinsi Minahasa (selanjutnya disingkat Promin) dicetuskan, banyak
pertanyaan yang mengalir dari berbagai kalangan masyarakat, bukan hanya
masyarakat inside Minahasa tetapi juga outside Minahasa, terutama masyarakat
Satal dan Bolaang Mongondow. Muaranya satu, bagaimana dengan propinsi
Sulawesi Utara ?. Pertanyaan tersebut semakin mengemuka dengan klaim dari
para pencetus Promin bahwa yang akan termasuk ke dalam Promin adalah
kabupaten Minahasa, Kota Manado dan Kota Bitung. Bagi orang yang telah
memahami betul UU No.22 tahun 1999 dan PP No.129 tahun 2000, ide pembentukan
Promin dengan ketiga daerah tersebut dengan hanya menyisakan Satal dan
Bolmong, merupakan ide yang berat untuk diwujudkan. Alasannya, matinya
propinsi induk merupakan sesuatu yang terlarang dalam UU otonomi daerah.
Namun demikian, apapun aspirasi yang dicetuskan masyarakat dan bagaimanapun
tantangan dan hambatan pelaksanaan aspirasi tersebut, segalanya harus
ditempatkan sebagai bagian dari proses demokrasi. Tulisan saya ini mencoba
memberikan beberapa skenario pewujudan Promin sebagai bahan masukan bagi
masyarakat Minahasa umumnya dan para penggagas pembentukan Promin khususnya.
Skenario 1 : PROMIN DGN MINAHASA-BITUNG-MANADO Dengan skenario ini,
kabupaten Minahasa, Kota Manado dan Kota Bitung, akan dijadikan target
kajian kelayakan pemekaran propinsi berdasarkan kriteria-kriteria dalam PP
No.129 tahun 2000. Skenario ini sebetulnya paling ideal dari antara
skenario-skenario yang dapat ditawarkan untuk pembentukan Promin. Dikatakan
paling ideal karena daerah induk Manado dan Bitung adalah kabupaten Minahasa,
sehingga skenario ini ibaratnya seorang ayah bermarga Minahasa yang
memanggil kembali anak-anaknya yang telah kawin-mawin untuk memantapkan
kembali kemargaan Minahasa mereka. Namun ternyata, yang ideal belum tentu
layak, karena dengan bergabungnya ketiga kab/kota tersebut, propinsi Sulut
tinggal akan memiliki kabupaten Satal dan Bolmong. Dalam kajian berdasarkan
PP No.129, akan tertulis sebagai berikut : Propinsi Baru/Minahasa = LAYAK,
Propinsi induk/Sulut = TIDAK LAYAK. Artinya, kabupaten induk akan mati atau
harus dihapus. Dalam kaitan dengan skenario pertama tersebut, beberapa rekan
yang tergabung dalam panitia persiapan deklarasi propinsi Minahasa tetap
yakin, suatu keyakinan yang harus disaluti, dengan menyatakan bahwa UU yang
diterapkan sekarang, khususnya UU No.22, pada dasarnya masih bersifat trial
and error, artinya masih berpeluang untuk direvisi. Namun, terhadap
pembenaran inipun masyarakat akan tetap pesimis karena dalam memperjuangkan
skenario pertama ini kita-kita yang nota bene sedang memperjuangkan
mantapnya supremasi hukum, akhirnya harus mengajak rakyat untuk berpihak
kepada kegiatan yang inkonstitusional. Pada keadaan tersebut, rasanya kita
harus melupakan skenario pertama ini.
Skenario 2 : TUNGGU KABUPATEN TALAUD
Pada bulan September atau Oktober tahun ini, dengan asumsi kondisi negara
dalam keadaan aman tentram, dokumen pembentukan Kabupaten Talaud akan
dibahas oleh Komisi Otda DPR RI bersama-sama dengan 15 calon kabupaten
lainnya di tanah air. Mari kita asumsikan Talaud disetujui menjadi kabupaten
baru. Dengan demikian Sulut sekarang memiliki 6 kabupaten. Meniru debut
kabupaten Boalemo dan propinsi Gorontalo, enam bulan setelah Talaud
diresmikan, dokumen ProMin langsung dimajukan untuk dikaji oleh pemprov
Sulut. Bitung-Minahasa-Manado (BMM) versus Sangihe-Talaud-Bolmong (STB).
Dari segi potensi wilayah barangkali berimbang, bahkan banrngkali STB lebih
unggul. Namun dari segi infra struktur dan kriteria lainnya, BMM masih
unggul. Terhadap kondisi tersebut, sebagaimana pada skenario 1, hasil kajian
diyakini masih akan menunjuk ke arah punahnya kabupaten induk (Sulut). So,
menunggu resminya kabupaten Talaud bukanlah skenario yang menjanjikan.
Skenario 3 : GANTI NAMA SULUT JADI MINAHASA
Kelihatannya gampang. Saya belum tahu apakah ada aturan yang dapat dijadikan
dasar untuk perubahan nama propinsi. Mari berasumsi bahwa nama propinsi
dapat diganti (renamed). Terhadap skenario ini kita cukup menempuh 2 langkah
:
1. Melobi pemprov Sulut untuk merestui perubahan nama propinsi.
2. Melobi rakyat Satal dan Bolmong agar “rela” nama Sulut diganti dengan “Minahasa”.
Dua langkah yang di atas kertas sangat-sangat mudah. Namun mari kita coba
melangkah. Melobi pemprov Sulut sangat mudah, apalagi dengan alasan aspirasi
rakyat, segalanya sah. Melobi Satal dan Bolmong, apakah alasan kita ?
Semuanya akan mengarah ke dua hal : Arogansi dan Egoisme keminahasaan.
Apalagi, umur Panitia Persiapan Deklarasi ProMin baru 3 hari, dari Bolmong
terdengar suatu respon yang bersifat penolakan halus : “Whatever will be, we
would remain Sulut” (Manado Post, 3 Juli). Jadi, bagaimana dengan skenario 3
ini ?.
Skenario 4 : BITUNG-MANADO OUT, MEKARKAN MINAHASA
Dengan skenario 4 ini, proses pemekaran kabupaten Minahasa yang ada saat ini
menjadi minimal 3 kabupaten/kota harus menjadi prioritas. Hingga saat ini
ada 4 aspirasi pemekaran yang mencuat : Minahasa Selatan (Minsel), Minahasa
Utara (Minut), Kota Tomohon dan Kota Amurang. Bila aspirasi tersebut
diwujudkan, minimal dua dari empat aspirasi tersebut, wilayah Minahasa akan
memiliki 3 kabupaten/kota sebagai syarat minimal pembentukan suatu propinsi.
Dengan demikian akan dikaji paket Manado-Bitung-Bolmong-Satal dan paket,
misalnya, Minahasa-Minsel-Minut. Hasil kajian pasti akan berbunyi : KEDUANYA
LAYAK. Terhadap skenario ini, akan muncul dua pendapat dari dua kubu. Para
penganut Geo-Minahasa (memandang Minahasa sebagai suatu kesatuan wilayah
geografis) akan keberatan dan berkata bahwa Minahasa tidak akan lengkap
tanpa Bitung dan Manado. Di lain pihak, para penganut Cultural-Minahasa (memandang
Minahasa sebagai suatu kesatuan budaya tanpa dibatasi ruang/wilayah) akan
menyambut baik skenario 4 ini. Tetapi pertentangan tidak seharusnya ada
karena yang diemban oleh proses pemekaran kabupaten untuk jangka panjang
adalah peningkatan pemerataan pembangunan dan pelayanan pemerintahan yang
seadil-adilnya untuk kesejahteraan masyarakat. Bukankah hal tersebut
merupakan suatu perpaduan yang manis antara isme Geo- dan Cultural-Minahasa
?.
Dari empat skenario yang diutarakan, skenario keempat barangkali dapat
dipertimbangkan sebagai alternatif terbaik berdasarkan dua alasan utama.
Pertama, skenario keempat tidak mengarah pada kegiatan pewujudan aspirasi
rakyat yang inkonstitusional. Skenario tersebut sejalan dengan UU No22 dan
PP No.129 tentang pemekaran daerah. Kedua, dengan skenario 4 tersebut,
keberadaan propinsi Sulut dapat dipertahankan sehingga ikatan persaudaraan
dengan saudara-saudara kita dari Satal dan Bolmong dapat terus dijaga,
bahkan skenario ini akan memperbesar peluang Governance Services nantinya.
Resiko satu-satunya yang dihadapi dalam skenario 4 adalah resiko waktu.
Memang tidak akan secepat yang diharapkan karena untuk memekarkan kabupaten
Minahasa yang ada saat ini, harus melalui mekanisme pentahapan. Dengan
demikian, gelora dan geliat pembentukan Promin mau tidak mau harus
berhadapan dengan dua pilihan : (1) Gerak cepat dengan peluang mendekati 0%,
atau (2) Gerak lambat dan santun dengan peluang mendekati 100%. Rasanya
pilihan kedua akan lebih tepat, apalagi dikaitkan dengan tema yang diusung
saat ini : Province of Minahasa, The Long Road to Autonomy. |
|
|